BAROMETER.ID (Jakarta): Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) memerintahkan Pemilu ditunda. Ini setelah PN Jakpus mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Gugatan perdata kepada KPU yang diketok pada Kamis (2/3/2023) itu dilayangkan Partai Prima pada 8 Desember 2022 lalu dengan Nomor Register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.
Partai Prima merasa dirugikan KPU dalam melakukan verifikasi administrasi partai politik yang ditetapkan dalam Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu. Sebab, akibat verifikasi KPU tersebut, Partai Prima dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual.
Padahal setelah dipelajari dan dicermati oleh Partai Prima, jenis dokumen yang sebelumnya dinyatakan TMS, ternyata juga dinyatakan Memenuhi Syarat oleh KPU dan hanya ditemukan sebagian kecil permasalahan. Partai Prima juga menyebut KPU tidak teliti dalam melakukan verifikasi yang menyebabkan keanggotaannya dinyatakan TMS di 22 provinsi.
Akibat kesalahan dan ketidaktelitian KPU, Partai Prima mengaku mengalami kerugian immateriil yang mempengaruhi anggotanya di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, Partai Prima meminta PN Jakpus menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama lebih-kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari sejak putusan dibacakan.
“Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari,” demikian bunyi putusan tersebut.
Ini putusan lengkapnya:
Dalam Eksepsi
Menolak Eksepsi Tergugat tentang Gugatan Penggugat Kabur/Tidak Jelas (Obscuur Libel);
Dalam Pokok Perkara
1. Menerima Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh Tergugat;
3. Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
4. Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada Penggugat;
5. Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari;
6. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad);
7. Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada Tergugat sebesar Rp.410.000,00 (empat ratus sepuluh ribu rupiah)
Tanggapan Menko Polhukam
Menko Polhukam Mahfud Md menyentil hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memerintahkan penundaan pemilu. Mahfud Md menyebut hakim tersebut tak paham hukum. Dia menyesalkan perkara gugatan perdata itu bisa lolos dan disidangkan.
“Saya kira hakimnya nggak mengerti, taksonomi ilmu hukum, yang sangat dasar silakan saja KY turun nggak papa. Sudah diumumkan KPU akan mengajukan banding,” kata Mahfud Md, Jumat (3/3/2023).
Mahfud mengatakan para mantan Ketua MK dan ahli hukum tata negara telah membahas soal putusan tersebut. Semua menyatakan keputusan itu salah.
“Semua mantan ketua MK juga sudah bicara bahwa itu salah, semua ahli hukum tata negara juga sudah bilang itu salah,” ujar Mahfud Md.
“Kalau dipaksakan ya nanti dieksekusi juga kan. Karena objeknya beda, misal kayak kamu jadi hakim memutus tanah di Blitar harus dirampas oleh negara. Sementara nomor sertifikat tanahnya ada di Tulungagung, kan nggak bisa dieksekusi. Sama dengan itu,” ujarnya.
Menurut Mahfud, proses peradilan yang diputuskan PN Jakpus salah kamar. Sebab, persoalan pemilu bukan kewenangan pengadilan negeri, melainkan wewenang Mahkamah Konstitusi (MK).
“Karena kamarnya beda, urusan pemilu itu pengadilannya bukan di pengadilan negeri. Tapi kalau sudah hasil pemilu ada MK, kalau proses awal itu PTUN atau Bawaslu,” tegasnya.
Belum lagi, lanjut Mahfud, perkara perdata yang diadili lebih kepada perkara private, sementara KPU merupakan lembaga berbadan hukum publik.
“Itu sudah punya undang-undang, kok ini menjadi hukum perdata, hukum perdata kan private. Sementara KPU badan hukum publik,” katanya. (*/red)
Editor: AK
Discussion about this post