BAROMETER.ID (Jambi): Oknum ASN Dinas PUPR Provinsi Jambi Bidang Cipta Karya berinisial FS diduga meminta fee Rp88 juta dari proyek senilai Rp 1.059.000.000 (Satu Miliar Limapuluh Sembilan Juta Rupiah) proyek pembuatan jembatan kanal parit Johor di kawasan cagar budaya nasional (KCBN) Muaro Jambi, Provinsi Jambi.
Hal itu diungkapkan General Superintendent (GSI) CV Kolang Nauli Arga, Asep. Dia juga mengatakan, FS adalah PTK di Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi jambi.
Menurut Asep, FS diduga telah mengatur dan mengondisikan pemenang tender pekerjaan pembuatan jembatan kanal parit Johor KCBN Muaro Jambi senilai Rp.1.059.000.000 (Satu Miliar Lima Puluh Sembilan Juta Rupiah) sumber dana APBN Tahun 2022.
Asep mengaku sebagai peserta lelang proyek tersebut, tapi kalah karena diduga ada aliran dana Rp 40 juta dari pihak pemenang proyek kepada oknum inisial FS.
Asep juga menceritakan FS bersama inisial J sempat datang ke rumahnya pasca pengondisian pemenang tender proyek itu. Saat itu, ujar Asep, FS mengatakan dia bisa mendapatkan proyek tersebut dengan syarat harus mengembalikan uang pemenang tender, yakni perusahaan Palembang.
“Saat itu saya minta untuk tidak dimenangkan kalau memang proses lelang yang sudah dilaksanakan itu benar, tapi akhirnya saya mendapatkan pekerjaan tersebut,” ujar Asep di ruang kerjanya, Rabu (15/2/2023).
Selanjutnya, Asep mengaku kecewa karena dalam proses pengerjaan proyek tersebut dia disingkirkan.
“Saat proses pengerjaan proyek jembatan tersebut saya disingkirkan, bahkan direktur perusahaan yang saya gunakan, dia lobi agar memberikan cek berikut kuasa sehingga uang termin kedua itu mereka yang mencairkan. Uang termin kedua tersebut dikelola FS, termasuk iparnya yang menjadi PPK dalam kegiatan ini,” ungkapnya.
Selanjutnya, Asep juga menyampaikan terkait adanya surat perjanjian yang menyatakan dia mundur dari pekerjaan dan tidak akan menuntut di kemudian hari yang ada tanda tangan dirinya, dengan tegas mengungkapkan surat perjanjian tersebut dibuat sepihak.
“Di surat itu ada nama saya, tapi mereka sendiri yang menandatangani. Dia bersekongkol dengan Joni yang menjadi kuasa direktur perusahaan yang saya pakai,” ungkapnya.
Kepada media ini, Asep juga mengaku rugi ratusan juta rupiah dan menanggung hutang. Dia juga menjelaskan ada sertifikat yang kini tergadai di Bank Buana.
“Hingga pekerjaan tersebut diambil alih oleh FS, uang saya yang habis lebih Rp 130 juta Mas. Kemudian ada sertifikat Ibu Yus, kita pakai jaminan bank. Janjinya, 3 bulan selesai proyek, sertifikat dikembalikan (tebus). Sekarang pekerjaan sudah clear, orang pasti mengira uang sama saya, saat ini saya terancam Mas,” keluh Asep.
Lebih lanjut Asep juga merinci aliran uang pinjaman bank dengan agunan sertifikat tersebut.
“Uang yang kita gunakan hasil menggadaikan sertifikat Ibu Yus ke Bank Buana berjumlah Rp 277 juta. Uang tersebut digunakan untuk setor ke FS Rp 25 juta melalui transfer. Kemudian untuk tebusan kepada pemenang tender pertama yang saya cerita tadi Rp 40 juta. Lalu Rp 44 juta setoran ke FS katanya untuk fee panitia lelang,” ungkap Asep.
“Uang fee itu sebenarnya FS minta Rp 88 juta, tapi saya baru bisa ngasih Rp 44 juta, itu saya serahkan di Rumah Makan Bassuo, makanya sampai saat ini mereka masih menahan uang termin kedua itu Mas, barangkali buat kekurangan ini Rp 44 juta itu,” ujarnya.
Menurut Asep, saat ini uang proyek itu masih ada dengan mereka masih Rp 50 juta lebih. Dia mengatakan sudah pernah menghubungi staf FS melalui telepon agar uang tersebut tidak diberikan kepada siapapun.
“Saya pesankan jangan kasih ke Joni atau ke siapapun uang itu karena buat pengembalian uang Ibu Yus untuk menebus sertifikatnya setidaknya tinggal sisa kekurangannya,” beber Asep.
Ditanya soal proses tender dan siapa saja yang menjadi Pokja dan Panitia, Asep menjelaskan ada kejanggalan pada penandatanganan hasil evaluasi pemenangan ada 2 orang dari 5 orang yang ditugaskan.
“Dua dari Universitas Sriwijaya Palembang, tiga dari Universitas Jambi (Unja). Dua orang dari Unja tidak mau menandatangani hasil evaluasi itu karena banyaknya ikut campur FS,” kata Asep
Sementara itu, Ketua Pokja, Dedy, saat dikonfirmasi via WhatsApp tentang alasannya tidak menandatangani hasil evaluasi pemenangan tersebut, dia mengatakan hanya melaksanakan tugas sebagai Pokja.
“Maaf saya hanya melaksanakan tugas sebagai Pokja, terkait Hapip dan Yudi bisa tanya langsung yang bersangkutan,” ujar Dedy.
Selanjutnya, ketika dikonfirmasi Yudi hanya menjawab singkat, “Saya atau Bang Hapip bukan Ketuanya Bang,” katanya tanpa menjelaskan alasan tidak menandatangani hasil evaluasi pemenangan tender itu.
Sementara itu, Krisyanto sebagai PPK dalam kegiatan tersebut telah pindah ke Palembang menjadi kepala Balai.
Yanto juga sebagai PPK saat hendak ditemui di Kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jambi untuk dimintai keterangan tidak mau menemui awak media, dengan alasan akan berkoordinasi lebih dulu dengan Frans Seno, sebagai PTK.
Sementara itu FS, yang beberapa kali dihubungi, hanya membalas dengan pesan singkat.
“Apa yang harus saya beri keterangan Pak saya di sini dak ngerti Pak,” tulisnya melalui pesan singkat
Sampai berita ini diterbitkan Frans tidak memberikan penjelasan atas beberapa pertanyaan media ini dan langsung memblokir kontak. (YUS)
Discussion about this post