COMMENSALEN Huis, sebagai rumah tinggal yang diperuntukan untuk kalangan mahasiswa kedokteran STOVIA dan mahasiswa hukum RHS dengan biaya murah dengan fasilitas terbaik saat itu, bisa disebut sebagai “kos-kosan modern.”
Tempat tinggal pelajar tersebut kini berada di Jalan Kramat Raya No. 106. Tidak hanya dimanfaatkan para pemuda melakukan kegiatan kebangsaan, di sini pula pada 15 Agustus 1926 berdiri club pelajar modern, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang menggagas dan mengdeklarasikan “Sumpah Pemuda.”
Intensitas pertemuan pemuda sebelum Sumpah Pemuda di Commensalen Huis, semakin sering ketika beberapa anggota Algemeene Studie Club dari Bandung, bersama Soekarno, dkk. sering menginap di sini. Pertemuan dan diskusi kebangsaan hampir setiap hari terjadi, sehingga wajar tempat ini dikenal di kalangan pemuda pelajar saat itu, sebagai tempat Indonesische Clubhuis atau Clubgebouw (gedung pertemuan).
Karena penggunaan istilah Belanda mulai dipandang tidak sesuai dengan semangat pemuda maka sejak 1927 mulai digalakan penggunaan Istilah Indonesia dengan mengawali penyebutan “Langen Siswo” untuk kelompok kesenian yang selalu latihan tarian untuk pengembangan budaya lokal. Sebagai Langen Siswo, kelompok pengembang kebudayaan nusantara yang diprakarsai Jong Java, Commensalen Huis merupakan tempat yang nyaman untuk latihan tari-tarian, karena adanya kedekatan Sie Kong Liong dengan pemerintah kolonial saat itu.
Begitu pula, PPPI memanfaatkannya sebagai markas besar pelajar Indonesia, bahkan berperan sebagai kantor sekretariat PPPI, kemudian menerbitkan majalah Indonesia Raya. Selain itu, Langen Siswa digunakan sebagai tempat pelaksanaan Konggres Sekar Roekoen, Kongres Pemuda Indonesia, dan Kongres PPPI.
Karena intensitas Pertemuan dan diskusi kebangsaan yang semakin populer, tempat ini dilengkapi dengan berbagai kebutuhan tulis dan pendokumenan naskah, bahkan oleh PPPI pun ditambahkan dengan peralatan percetakan untuk menerbitkan majalah Indonesia Raya. Sosok Sie Kong Liong dengan keikhlasannya memberikan dan melengkapi fasilitas kok-kosannya untuk digunakan oleh para pemuda. Walaupun jumlah pemuda yang berdatangan dan yang menginap melebihi kapasitas ruangan tempat tidur, Sie Kong Liong dengan senang hati menyambut kehadiran para pemuda dan juga melayani semua kebutuhan pemuda saat itu.
Bahkan pemuda yang telat membayar uang kos tidak membuatnya marah dan kecewa, sebaliknya sering kali dia membantu kebutuhan pemuda yang kesulitan ekonomi saat, karena dia pun berperan sebagai bapak bagi anak-anak kosnya. Di sini mereka merasa satu keluarga besar yaitu keluarga Indonesia, karenanya pemuda merasa nyaman tinggal di sini.
Kenyamanan tinggal terasa ketika musim ujian tiba, suasana Commensalen Huis, yang biasa diramaikan dengan diskusi politik dan kebangsaan, senyap seketika. Para pelajar banyak yang mengurung diri dalam ruangan kamar untuk belajar sepanjang hari, tapi ada juga yang memanfaatkan ruang-ruang tengah di luar kamar (taman-taman) untuk belajar sendiri ataupun belajar bersama.
Ruang tengah yang biasa mereka gunakan untuk main remi, catur, ataupun biliar hingga Pukul 24.00 seketika menjadi sepi senyap tanpa kegiatan; WR. Soepratman yang biasa memainkan biola dan Amir Syarifudin yang selalu melepas penat dengan juga memainkan biola, serta Abu Hanifah yang biasa memainkan karya-karya Schubert dan Serenata yang bernada sentimentil.
Kesunyian ruangan akan berubah menjadi suasana yang ramai bilamana ujian telah selesai. Diskusi politik dan kebangsaan menjadi makanan pokok dalam kos-kosan tersebut. Beginilah gambaran suasasa harian dalam commensalen Huis milik Sie Kong Liong, seorang keturunan Tiong Hoa yang ramah.
Beberapa pemuda yang memanfaat tinggal di commensalen Huis dan pernah tinggal seperti Muhammad Yamin, Amir Sjarifoedin, Soerjadi (Surabaya), Soerjadi (Jakarta), Assaat, Abu Hanifah, Abas, Hidajat, Ferdinand Lumban Tobing, Soenarko, Koentjoro Poerbopranoto, Mohammad Amir, Roesmali, Mohammad Tamzil, Soemanang, Samboedjo Arif, Mokoginta, Hassan, dan Katjasungkana. Begitu pula dengan Soekarno walaupun hanya datang sekali seminggu.
Tempat ini adalah tempat terbaik untuk berdiskusi tentang politik kebangsaan karena sosok sang pemilik yang cukup disegani oleh pemerintah kolonial, dan pelajar mendapat jaminan keamanan dari pemilik commensalen Huis. Oleh sebab itu, wajar jika peran Sie Kong Liong sebagai tokoh besar di balik layar atas suksesnya Kongres Pemuda yang sangat fundamental.
Walaupun perannya tidak dapat kita jumpai dalam berbagai sumber literasi, tapi dari daya pikat tempat kos-kosan yang sangat populer ketika itu sebagai bukti bahwa sosoknya yang ramah dan bersahabat dengan pelajar dari berbagai pelosok tentu mempunyai peran yang tidak mungkin dapat diuraikan oleh para pemuda saat ini karena mungkin kehabisan kata dan kalimat untuk mengungkapkan sosoknya, selain padatnya kegiatan pemuda saat itu.
Sehingga wajar jika peran aktif Sie Kong Liong luput dari cacatan sejarah Kongres Pemuda, sebagai titik nol pemersatu bangsa.
Keberadaan Commensalen Huis dalam asuhan sosok Sie Kong Liog, merupakan wahana pertemuan berbagai suku dan berbagai kebudayaan nusantara padahal penggunaan dan pengembangan budaya nusantara masih terbatas dan terlarang pada masa pemerintah kolonial.
Namun, di Commensalen Huis pergumulan kebudayaan nusantara mulai dikembangkan yang diisi oleh pelajar lintas daerah dengan membawa budaya masing-masing, membaur dalam keharmonisan. Pembiasaan hidup dalam pembauran kebudayaan menjadikan tempat ini sebagai wahana pemersatuan budaya nusantara yang melahirkan Budaya Indonesia. Commensalen Huis ini juga diyakini menjadi tempat lahir kata Indonesia Raya dan ikrar Persatuan Indonesia dalam bentuk Sumpah Pemuda.
Lagu Indonesia Raya ditulis oleh Moh. Yamin dan digubah WR. Supratman yang merupakan dua sosok yang juga menghuni dan tinggal di rumah ini. Oleh sebab itu, juga sangat mungkin kata Indonesia terlahir di tempat ini. Sebagai tempat yang bersejarah, tentu tempat ini tergolong kramat (suci). Kekramatannya harus terjaga dan terjamin, karena itu segala macam isi dan bentuk bangunan harus selalu terjaga orisinalitasnya.
Oleh karena itu, sangat wajar bila pemerintah Indonesia menetapkan Commensalen Huis sebagai Meseum Nasional pada 7 Februari 1983 melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 029/O/1983. Urgensi ini yang sangat penting karena tempat ini memiliki nilai sejarah yang tinggi sebagai tonggak dasar proses awal pembentukan negara Indonesia.
Proses pembentukan negara selalu diawali adanya kesamaan dalam kebersamaan, begitu juga dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang awalnya dibentuk oleh adanya rasa kesamaan nasib, cita-cita, dan tujuan untuk merdeka, lepas dari penjajahan kolonial. Karena itu kebersamaan di kalangan pemuda terpelajar saat itu sangat solid walaupun mereka berasal dari berbagai suku dan budaya. Mereka dipertemukan dan disatukan dalam Commensalen Huis oleh Sie Kong Liong, saudagar sederhana keturunan Tionghoa. Dialah sang pemilik rumah kost modern saat itu dengan harga murah terjangkau dilengkapi fasilitas yang memadai untuk segala kegiatan pelajar saat itu.
Tidak hanya sebagai tempat tinggal, tempat ini juga menjadi ajang pertemuan lintas budaya dengan pembahasan utama tentang politik kenegaraan dan kebangsaan. Di tempat ini pula, mereka merajut kebangsaan Indonesia dengan semangat tinggi untuk selalu bersatu dan bersama dalam suka dan duka.
Mereka selalu menjaga keharmonisan hubungan di antara mereka, bahkan pemuda pelajar di luar kos-kosan diajak bergabung dan berkumpul di sini. Hingga wajar jika tempat ini menjadi rumah pemuda Indonesia saat itu. Mengingat peranan Commensalen Huis sebagai tempat berkumpulnya pemuda-pemuda Indonesia dalam proses awal pergerakan kebangsaan. Tidak berlebihan jika tempat ini kita sebut Rumah Kecil Indonesia.
Di rumah kecil ini bernama Indonesisch Huis, benih keindonesiaan telah tertanam dan mulai tumbuh dan berkembang dengan baik. Di sini pula segala ego kesukuan yang melekat dalam diri mereka kubur bersama sebagai benih, kemudian tumbuh menjadi pohon Indonesia yang rindang dan mampu mengayomi orang-orang yang berteduh di bawahnya, penuh damai dan bahagia.
Perasaan yang sama sebagai satu kesatuan yang utuh telah membumikan rasa ke-Indonesian dengan nasionalisme yang tinggi. Terbukti, rumah kecil Indonesia itu dipilih menjadi tempat pembacaan hasil Kongres Pemuda.
Kongres yang awalnya dilaksanakan pada 27 Oktober 1928 di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (Lapangan Banteng) yang membicarakan pentingnya rasa persatuan di antara pelajar untuk mewujudkan kemerdekaan. Besoknya Tanggal 28 Oktober 1928 Kongres dilanjutkan di Gedung Osst Java Boscoope untuk membicarakan perlunya anak-anak Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak.
Kemudian pada sesi selanjutnya para pelajar menyimpulkan bahwa untuk mencapai cita-cita kemerdekan bangsa dan tujuan bersama, diperlukan rasa nasionalisme dan terbangunnya demokrasi bagi bangsa ke depan hingga akhirnya sepakat berikrar bersama yang melahirkan naskah Sumpah Pemuda. Kesepakatan berikutnya, pembacaan ikrar harus dilaksanakan di rumah kecil Indonesia yang mereka sebut Indonesisch Huis. Hal ini menunjukan keberadaan Commensalen Huis sebagai Indonesisch Huis merupakan tempat yang referesentatif, aman dan nyaman untuk membangun Indonesia sebagai titik awal proses terbentuknya negara Indonesia.
Kita semua tahu, proses pembentukan negara ini amat panjang dengan mengorbankan jiwa dan harta tidak terhitung bilangannya. Namun, sejarah telah terukir dalam sanubari bangsa ini. Oleh sebab itu, sebagai anak bangsa yang menikmati hasil perjuangan mereka, tak sepantasnya kita masih mengabaikan peran setiap jiwa yang telah berkorban dengan ikhlas untuk negeri ini.
Mari kita lepaskan ikatan sukuisme dan primordial yang masih menempel dalam jiwa-jiwa hampa, sebab para pendiri republik ini telah merintis berdirinya negeri ini juga berhasil melepaskan ikatan-ikatan itu. Jika mereka bisa, mengapa kita tidak bisa? Padahal kita merupakan penikmat jerih payah mereka. Ayo kita berdiri sama tinggi, duduk sama rendah karena begitulah seharusnya kita bersikap dalam membangun negeri ini.
Negeri ini akan jaya dan rakyatnya sejahtera jika kita bersama-sama merasa Satu Indonesia, Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa. Selamat Hari Sumpah Pemuda. Ayo Kerja Bersama!
HALIMSON REDIS. Wakil Sekretaris DPP Federasi Guru Independen Indonesia (FGII)
Referensi
1. Museum Sumpah Pemuda, Buku Panduan Museum Sumpah Pemuda, Museum tsb, Jakarta, 2015
2. Mardawas Safwas, Peranan Gedung Kramat Raya 106, dalam Melahirkan Sumpah Pemuda, Dinas Pariwisata Pemerintah DKI Jakarta, 1979
3. Momon Abdul Rahman dkk. Indonesia Muda: Catatan Penting Persatuan Organisasi Pemuda, Museum Sumpah Pemuda, 2012
4. Fadhilah Syahidah, Museum Sumpah Pemuda dan Sie Kong Liong, FKIP Universitas Muhammadiyah Metro, Jumat 10 February 2017, http://yourfasyaedu.blogspot.co.id/2017/02/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html.
Discussion about this post